Makalah Resolusi Konflik dalam Agama Kristen
![]() |
photo by:thechurchinmalta.org |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Konflik antar agama adalah konflik antar kelompok pemeluk agama
yang berbeda dengan alasan non agama (misalnya politik, ekonomi, sosial) dan
bisa juga menggunakan dalil/ tujuan agama yang sempit atau bahkan salah. Sesunguhnya
banyak dari konflik antar agama yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia
mempunyai tujuan-tujuan dan motivasi non agamawi, namun pemimpin politik atau
agamawi secara lihai mengunakan agama dan alasan keagamaan yang sempit untuk
memobilisasi masa atau umat untuk terlibat dalam konflik tersebut.
Hal ini jelas dalam pengalaman bangsa Israel ketika keluar dari
Mesir dan harus berperang dengan penduduk asli yang berbeda keyakinan agama.
lalu mereka memberi alasan agamawi terhadap peperangan itu, dengan
ungkapan-ungkapan seperti: umat pilihan atau tanah perjanjian.
Asghar Ali Engineer membedakan dua aspek atau fungsi agama diantara
fungsi-fungsi yang lain, yakni agama sebagai suatu tuntunan moral dan agama
sebagai suatu identitas. Baginya, peranan mendasar agama adalah memberikan
tuntunan untuk kehidupan yang sehat secara moral dan spiritual di dunia ini
agar secara terus menerus secara kaya memperkaya eksistensi dan membuatnya
lebih bermakna. Akan tetapi setiap komunitas agama membutuhkan suatu identitas,
suatu komunitas di mana dia menjadi bagian dan identitas ini memainkan peranan
penting daalam arti psikologis maupun sosial. Ia juga selanjutnya mengatakan:
“Agama sebagai suatu tuntunan moral membawa kerjasama yang lebih
dekat diantara kelompok agama yang berbeda, tetapi agama sebagai identitas
cenderung menciptakan konflik, identitas tidak hanya sebagai kebutuhan
psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan berkaitan pada pertentangan
kepentingan-kepentingan duniawi antar anggota dan komunitas agamawi yang
berbeda.”
Apa
yang terjadi di beberapa bagian Indonesia belakangan ini dalam bentuk konflik
antar agama, kita cenderung lebih menggunakan fungsi agama sebagai pemberi
identitas, dan karena itu kita menciptakan tembok pemisah antara kita dengan
yang lain. Disertai dengan ketidak senangan, rasa curiga dan kebencian satu sma
lain.ditambah lagi ada isu tentang kristenisasi dan islamisasi yang sampai
sekarang selalu bergejolak di antar umat baik Islam maupun Kristen. Menengok
dari masalah tersebut kita tertarik untuk menulis mengenai bagaimana dari masing-masing agama khususnya kristen dengan
pandangan agama kristen sendiri dalam menanggapi permasalahan konflik agama
dengan cara mereka menangani hal diatas tersebut.
B.
Rumusan Masalah
v Pandangan
dan sikap Kristen terhadap agama lain
v Pandangan Umat Kristiani perihal pembenaran dan rahmat
v Pengalaman
Kristen dalam meresolusi konflik/mediasi
BAB
II
PEMBAHASAN
a. Pandangan
dan sikap Kristen terhadap agama lain.
Dalam
prinsip tata kehidupan agama-agama secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Agama
berpusat pada konsep dasar yang
mengandung unsur-unsur:
a) Konsep
tentang tuhan
b) Konsep
tentang alam dengan manusia sebagai pusatnya
c) Konsep
tentang hubungan antara manusai dan Allah serta alam dan Allah.
d) Konsep
tentang apa yang wajib dilakukan oleh manusia terhadap Allah
e) Konsep
tentang apa yang bisa diharapkan oleh manusia dari Allah.
2. Konsep
dasar yang merupakan inti agama itu diolah menjadi tatanan kehidupan yang lebih
rinci sehingga dapat diterapkan yaitu:
a) Tatanan
ajaran. dengan tatanan ajaran, manusia hendak mengetahui tentang siapa Allah,
apa yang wajib dilakukan oleh manusia terhaapa Allah, apa yang diharapkan
manusia dari Allah.
b) Tatanan
ibadat agama, dengan tatanan ibadat agamanya, manusia yang berada di dunia ini
hendap mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah.
c) Tatanan
hukum agama. Dengan tatanan hukum agamanya, manusia hendak menyatakan
ketaatanya terhadap Allah.
d) Tatanan
keutamaan agama. Dengan ketaatan agamanya, manusia hendak menyatakan sosialitasnya
didalam kehidupan religiusnya.
Lalu
apakah pengertian agama seperti itu juga berlaku dalam agama kristen?
Pada
hakikatnya agama kristen sama dengan agama lain. Tetapi sama dengan semua agama
lain yang memiliki kekhususannya yang membuat agama kristen secara asasi
berbeda dengan agama lain. Kekususanya agam kristen teletak didalam tatanan
ajaran, ibadat, hukum dan keutamaan yang dibuat dalam rangka menanngapi
penyelamatan Allah ke atas manusia melalui yesus kristus.[1]
Orang kristen percaya, mengakui dan menghormati hak hidup orang lain termasuk
didalamnya hak hidup beragama.
Sikap
dasar seorang yang percaya terhadap penganu agama lain adalah, sebagai berikut:
1. Sifat
manusia sebagai makhluk sosial yang menyebabkan manusia senantiasa hidup
bersama.
2. Kebebasan
setiap orang untuk menentukan agama yang hendak dianutnya.[2]
b. Pembenaran dan
rahmat
Orang pada umumnya salah menafsirkan perbedaan antara toleransi
agama dengan toleransi sosial agama. Ketidak pahaman ini mengakibatkan tergoncangnya
kerukunan kehidupan beragama di
Indonesia.
Toleransi agama bermakna, bahwa agama mengakui agama lain,
menghormati agama lain tanpa menentangnya, tidak mengganggu kepercayaan agama
lain, maksudnya mengakui agama lain dan tidak keberatan terhadap agama lain.
Mana kala suatu agama bersikap toleransi terhadap agama lain maka
terjadilah asimilasi (percampuran), dalam ilmu kebudayan diistilahkan
sinkretisma. Dalam Islam sinkretisma itu
diistilahklan dengan Bid’ah Dhalalah (pembaharuan yang sesat). Contohnya
toleransi antara agama bangsa Aria dan bangsa Dravida melahirkan agama baru,
yaitu agama Hindu.
Toleransi sosial agama berbeda sekali dengan toleransi agama.
Disini bukan bukan agama yang bertoleransi, akan tetapi sosial atau
masyarakatnya. Suatu masyarakat mengakui dan menerima adanya golongan lain yang
berbeda agama, mereka menghormati dan membiarkan agama lain dalam menjalankan
kepercayaan. Disini yang berperan penting adalah masyarakatnya, bukan agama
yang harus disatukan. Disini terkadang orang-orang salah mengartikan.[3]
Seperti yang kita ketahui di Indonesia, 2 agama mayoritas Islam dan
Kristen sering sekali mengalami konflik, salah satunya adalah pelecehan agama
yang dilakukan oleh Ahok. Hal ini menandakan bahwa humanisme yang dimiliki
masyarakat Indonesia sangatlah kurang, Lalu bagaiman Kristen dalam
menanggulangi konflik-konflik tersebut?
Dalam agama Kristen
terdapat inti ajaran rahmat di dalam tradisi Gereja, yang isinya adalah:
·
Seluruh tradisi baik Katolik maupun
Protestan menekankan bahwa manusia tidak bisa membenarkan diri dari kuasa dosa,
melainkan membutuhkan pembenaran sebgai hadiah bebas dan tak bersyarat dari
Allah. Inisiatip pembenaran berada di pihak Allah.
·
Pembenaran dan rahmat tidak hanya
merupakan sikap Allah semata-mata (gratia increata), melainkan menghasilkan
juga sungguh-sungguh keadaan yang baru dalam diri manusia yang menerima rahmat
itu (gratia creata). Manusia diampuni dosanya dan menjadi manusia baru sebagai
anak Allah.
·
Manusia tidak semata-mata pasif didalam
proses pembenran, melainkan ia secara bebas menerima rahmat pembenaran dari
Allah.
·
Pembenran membuka proses pengudusan dalam
diri manusia tahap-demi tahap mengkar pada dirinya dalam keadaan baru sebagai
anak Allah berkat bimbingan rahmat Allah .
Dengan ini jelas juga bahwa suatu pembenaran yang diberikan secara
gratis oleh Allah, tidak membebaskan manusia dari kewajiban menjalankan hukum
Allah, melainkan justru membebaskannya atau menyembhkannya agar ia sanggup
menjalankan hukum Allah, yaitu mencintai, seluruh maksud dan makna dari pembenaran atau penyelamatan
itu ialah membebaskan manusia untuk cinta.[4]
Adanya cinta akan mengurangi rasa kebencian.
Sehingga ketika umat Kristen mampu mengamalkan ajaran tersebut setidaknya dapat
membantu mengurangi konflik dan menciptakan rasa toleransi dan saling
menghormati perbedaan keagamaan yang ada di Indoneia.
c. Pengalaman
Kristen dalam meresolusi konflik (mediasi)
Ada tiga kategori dalam
pandangan agama kristen yang berdasrkan pegalamannya dalam menanggapi konflik
antar agama. Bahwasanya konflik antar
agama adalah suatu jenis konflik yang
rumit dan paling sulit diselesaikan, mengapa demikian karena konflik tersebut
melibatkan banyak orang dan sulit untuk diketahui dan diidentifikasi apa sesunguhnya
penyebab yang paling dalam.
Hal pertama dalam
penyelesaian konflik antar agama menurut pengalaman agama kristen adalah,
adanya proses mediasi dalam proses rekonsiliasi. pengakuan dari pihak yang
sudah menangani beberapa kasus konflik agama seperti di Ambon, mereka mengakui
bahwa sejak awal sudah ada pengakuan dari pihak gereja terhadap pemimpin Islam
untuk mencari penyelesaian konflik dan mengakhiri konflik. Jadi gereja
mengambil ini inisiatif untuk mendekati pemimpin umat Islam dan Katolik dan
bahkan dialog antar pemuka agama dengan pemerintah, pemimpin TNI, dan polri
juga sempat dilakukan.[5]
Kumpulan
orang yang mewakili pihak bertikai inilah yang diharapkan menjadi pihak ketiga
dalam proses mediasi yang diharapkan juga memiliki sifat yang netral.dalam hali
ini mereka merupakan kelompok lintas agama. setidaknya mereka masih mau melihat
agama dalam fungsi tuntunan moral ketimbang idntitas. Identitas yang lebih
meyatukan adalah bahwa mereka sesama orang Ambon yang terikat juga dengan
tradisi, adat, budaya, dan pela. Hal inilah yang membutuhkan sikap terbuka dan
sikap beraga ayang tak sempit.
Hal
kedua yang dilakukan, gereja mendekati pihak-pihak pemerintah dan aparat TNI
dan polri. Sebagai pemerintah dan alat Negara, gereja menaruh harapan besar
terhadap perannya sebagaipihak ketiga Yang netral dan impersial sebagaiman
tugasnya. Tetapi dalam kenyataannya peran itu tidak dapat di mainkan dengan
benar, Justru yangg erjadi sebaliknya. Dalam konflik yang lalu, ternyata ada
keberpihakan alat negara baik itu terhadap kelompok Islam ataupun kristen,tergantung
agama dari alat negara. Hal ini jelas menunjukan bahwa kita masih terlalu
menekankan fungsi agama sebagai identitas pemberi identitas, dan karena itu
sulit menjalankan fungsi secara netral. Hal inilah yang menjadikan proses
mediasi semakin sulit dan konflik menjadi berkepanjangan.
Hal
yang ketiga, disamping usaha-usaha yang melibatkan dua pihak yang bertikai,
selalu ada usaha-usaha penyadaran dan pemberdayaan warga tentang pentingnya
beragama secara dewasa, terbuka dan dalam bahasa ilmiahnya bersikap plural.[6]
BAB III
PENUTUP
C.
Kesimpulan
Toleransi sosial agama berbeda sekali
dengan toleransi agama. Disini bukan bukan agama yang bertoleransi, akan tetapi
sosial atau masyarakatnya. Suatu masyarakat mengakui dan menerima adanya
golongan lain yang berbeda agama, mereka menghormati dan membiarkan agama lain
dalam menjalankan kepercayaan. Disini yang berperan penting adalah
masyarakatnya, bukan agama yang harus disatukan. Disini terkadang orang-orang
salah mengartikan.
Seluruh tradisi baik Katolik maupun
Protestan menekankan bahwa manusia tidak bisa membenarkan diri dari kuasa dosa,
melainkan membutuhkan pembenaran sebgai hadiah bebas dan tak bersyarat dari
Allah. Inisiatip pembenaran berada di pihak Allah.
Ada tiga kategori dalam
pandangan agama kristen yang berdasrkan pegalamannya dalam menanggapi konflik
antar agama, yakni; pertama, dalam
penyelesaian konflik antar agama menurut pengalaman agama kristen adalah,
adanya proses mediasi dalam proses rekonsiliasi. Kedua, gereja mendekati
pihak-pihak pemerintah dan aparat TNI dan polri, kemudian yang ketiga,
disamping usaha-usaha yang melibatkan dua pihak yang bertikai, selalu ada
usaha-usah penyadaran dan pemberdayaan warga tentang pentingnya beragama secara
dewasa dan terbuka.
Daftar Pustaka
Thohir, Mudjahirin,
2015. Kedewasaan Beragama Dalam
Masyarakat Plural, Semarang: Pustaka Zaman.
Gazalba, Sidi. 1981. Dialog antara propagandis Kristen dan logika,
Jakarta: Bulan Bintang.
Kirchberger, 1986. Pandangan Kristen tentang Dunia dan manusia, Flores-NTT: Nusa
Indah.
Musahadi, 2007. Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia,
Semarang: WMC IAIN Walisongo Semarang.
[1]Mudjahirin Thohir, Kedewasaan Beragama Dalam Masyarakat Plural,
(Semarang: Pustaka Zaman,2015) Hal 118-119
[2] Ibid, Hlm 120
[3]Drs. Sidi Gazalba,Dialog antara
propagandis Kristen dan logika ,Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
[4]DR.G. Kirchberger SVD, Pandangan
Kristen tentang Dunia dan manusia, Flores-NTT: Nusa Indah, 1986.
[5]Musahadi HAM (ed.), Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia,
(Semarang: WMC IAIN Walisongo Semarang, 2007). Hal. 84.
[6]Ibid, Hal 85-86.
Comments
Post a Comment