Teori Konflik dan Teori Resolusi Konflik
BAB
I
PENDAHALUAN
A.
Latar Belakang
Konflik
merupakan hal yang bersifat niscaya, timbul dilatarbelakangi oleh gesekan antar
perbedaan baik individu maupun golongan. Konflik sebenarnya
adalah sebuah hal yang tidak diinginkan oleh pihak manapun, siapa pun melakukan
berbagai cara untuk menghindarkan dirinya sejauh mungkin dari konflik, namun karena
konflik bersifat niscaya maka tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik, baik individu, antar anggotanya atau dengan golongan
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri. Konflik adalah aspek
intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah
sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul
sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul
bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.
Perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut perbedaan kepentingan, kebutuhan, ciri
fisik, pemahaman, posisi, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Ø Pengertian Konflik
Ø Pandangan-padangan Para Tokoh Tentang Konflik
Ø Teori-teori Penyebab Konflik
Ø Pengertin Resolisi Konflik
Ø Teori-Teori Resolusi Konflik
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konfik
Kata “konflik” dalam bahasa inggris conflict,
berasal dari bahasa latin configere yang berarti benturan. Dalam kamus
the Collins Concice disebutkan bahwa konflik adalah “a struggle between
opposing forces,opposition betwean ideas and interest”.[1]
The Macquire Dictionary memberikan pengertian konflik sebagai “to come into
collision (bentrokan), dash (halangan), or be in opposition or at
variance[2].
Menurut Webster, Istilah “conflict” didalam
bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa
pihak. Akan tetapi, kemudian kata konflik tersebut mengalami perluasan makna yang
mulanya hanya terbatas pada keadaan fisik sekarang juga menyentuh aspek
psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi. Oleh Webster konflik
dimaknai sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest.[3]
Konflik adalah interaksi diantara pihak-pihak yang
saling tergantung dan merasakan ketidakcocokan dengan satu sama
lain.Interdepensi atau keadaan saling tergantung memainkan peran penting dalam
konflik, karena konflik mulai menetapkan kecenderungan untuk bersaing atau
bekerja sama dalam laju interaksi konflik.[4]
Secara konseptual, konflik dibedakan
dengan kekerasan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang
memiliki atau mereka yang menganggap memiliki tujuan yang bertentangan.
Sedangkan kekerasan meliputi sistem, struktur tindakan, kata-kata, dan sikap
yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan serta menutup
kemungkinan seseorang untuk mengembangkan potensinya.[5]
B.
Pandangan Para Tokoh tentang Konflik
1.
Teori
konflik Lewis Coser
Sebagai tokoh fungsionalis, Lewis A. Coser berpendapat bahwa
konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya menunjukkan fungsi
negatifnya, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif, semisal mempererat
integritas kelompok dan lain sebagainya. Oleh karena itu, konflik bisa
menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan. Bagi Coser, konflik merupakan
salah satu bentuk interaksi dan tidak perlu diingkari keberadaannya.[6]
Menurutnya konflik bersifat fungsionalis (baik) dan disfungsionalis (buruk)
bagi hubungan-hubungan dan struktur yang tidak terangkum dalam sistem sosial
sebagai suatu keseluruhan. Karena Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai
suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka,
kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisasi atau
dilangsungkan, atau dieliminasi saingan-saingannya. Jadi, hal-hal yang esensial
tidak perlu dipertentangkan. Dengan demikian, dinyatakan bahwa konsekuensi
konflik sosial akan mengarah pada peningkatan dan bukan kemerosotan, adaptasi
atau penyesuaian baik hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara
keseluruhan.[7]
2.
Teori
Konflik Ralf Dahrendlof
Ralf Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun
teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat industri kontemporer.
Kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi seperti yang dilakukan
oleh Marx tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan yang mencakup hak absah
untuk menguasai orang lain.[8]
Kekuasaan itu selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang
dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling
bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata
yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara
golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan
yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang
dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan
kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu
kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari golongan
yang anti status quo.
Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan tertentu selalu dinilai
objektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu berdempetan dengan posisi
individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang individu akan bersikap
dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang diharapkan oleh
golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri
dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh Dahrendorf disebut
sebagai peranan laten. [9]
Menurut Dahrendorf pertentangan kelas harus di Iihat sebagai
kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan
asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang
bertentangan itu sekali mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan
terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur
sosial.[10]
3. Teori Konflik Karl Marx
Karla Marx memiliki pandangan yang berbeda dengan para tokoh fungsionalis
seperti Lewis Coser dan Ralf Dahendorf. Menurut Karl Marx, konflik terjadi
disebabkan pertentangan antar kelas. Ketidakseimbangan kelas-kelas dalam
masyarakat yang berdasarkan ekonomi. Kerakusan dan ketamakan kaum berjouasi
yang mengeksploitasi kaum ploretariat atau menengah ke bawah.
Adannya kelas-kelas sosial menyebabkan ketidakseimbangan di dalam kehidupan
masyarakat sehingga terjadi kecemburuan dan penuntutan hak-hak oleh kaum ploretarian
atas eksploitasi yang dilakukan oleh kaum berjuoasi.
C.
Teori-teori penyebab Konflik
Penyebab terjadinya konflik ada enam ranah besar, yakni:
1)
Teori
Hubungan Masyarakat
Dalam teori ini dijelaskan bahwa polarisasi yang senantiasa terjadi
di dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan ketidakpercayaan bahkan sampai
permusuhan merupakan penyebab terjadinya konflik.
2)
Teori
negosiasi prinsip
Teori ini menganggap konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang
tidak selaras dan perbedaan pandangan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
3)
Human
need teory
Teori ini memiliki kesamaan seperti teori kebutuhan yang dikatakan
oleh Abraham Maslow dan Johan Galtung. Teori ini mengatakan bahwa penyebab
konflik yang paling mendasar adalah karena kebutuhan dasar manusia, baik fisik,
mental, atau sosial yang tidak terpenuhi atau terhalangi.. diantaranya
keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi.
4)
Identity
teory
Teori ini menyatakan bahwa konflik terjadi karena terancamnya
identitas oleh pihak lain.
5)
Non-understanded
teory
Teori ini menyatakan bahwa konflik terjadi akibat ketidakcocokan
dalam cara berkomunikasi diantara kebudayaan yang berbeda.
6)
Conflict
tranformation teory
Dalam teori ini mengakatan bahwa konflik disebabkan oleh
ketidakselarasan dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya
dan otonomi.[11]
D.
Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik sebagai kajian keilmuan, merupakan hal yang bisa
dikatakan baru. Pada awalnya disetiap konflik terjadi dalam suatu masyarakat
selalu cenderung berujung pada kekerasan antar pihak-pihak yang terlibat
didalamnya. Oleh karena itu, resolusi konflik merupakan kajian keilmuan yang
baru.
Menurut Morton Deutsch resolusi konflik merupakan sekumpulan teori
dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat
konflik, meneliti strategi terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi
terhadap konflik.[12]
Prof. Dr. Alo Liliweri berpendapat bahwa resolusi konflik bertujuan
menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif
dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.[13]
Jadi resolusi konflik adalah tentang bagaimana menghadapi konflik, bagaimana
menyelesaikannya, bagaimana mengatasinya, bagaimana mengelolanya dan mungkin
bagaimana menghilangkan konflik.[14] Resolusi
konflik merupakan istilah yang lebih komprehensif yang menyiratkan bahwa akar
terdalam yang merupakan sumber dari konflik adalah ditangani dan diubah. Hal
ini berarti bahwa perilaku kekerasan tidak lagi, sikap bermusuhan tidak lagi
dan struktur konflik telah berubah menuju arah perubahan dan penyelesain
konflik dengan baik.
E.
Teori-teori Resolusi Konflik
1.
Dialog
Kata
“Dialog” berasal dari bahasa yunani dia dan logos yang berarti
dwi wicara (pembicaraan dua pihak). Dialog diartikan sebagai pembicaraan dua
belah pihak atau lebih untuk saling bertukar nilai-nilai masing-masing pihak
yang bertujuan untuk saling memberi informasi.
Untuk
melakukan dialog, kedua belah pihak yang terlibat harus memperhatikan beberapa
pedoman dalam dialog, antara lain:
a)
Utuh
dan otentik
b)
Saling
terbuka
c)
Adanya
pijakan yang sama atau titik temu (common enemy: social phatology)
d)
Tujuan:
untuk saling memahami.
e)
Materi
dialog
2.
Negosiasi
Secara etimologi, negosiasi berasal dari bahasa Inggris ialah negosiation
artinya suatu perundingan untuk mendapatkan suatu kesepakatan. Negosiasi adalah
proses peundingan dua pihak yang bertikai baik sifatnya individual maupun
kelompok untuk mencari solusi penyelesaian bersama yang saling menguntungkan.
Menurut Prof. Dr.Syahrizal Abbas negosiasi adalah salah satu
strategi penyelesaian sengketa dimana para pihak setuju untuk menyelesaikan
persoalan mereka melalui proses musyawarah dan perundingan. Dengan kata lain,
negosiasi adalah suatu proses struktur dimana para pihak yang bersengketa
berbicara sesama mereka mengenai persoalan yang dipeselisihkan dalam rangka
mencapai persetujuan atau kesepakatan bersama.[15]
Syarat-syarat untuk melakukan negosiasi diantaranya:
a)
Bersedia
membagi kepentingan bersama
b)
Sepakat
dalam prosedur negosiasi yang ditempuh
c)
Bersifat
sukarela
d)
Saling
dipercaya
e)
Mencari
berbagai alternatif dalam mencari solusi (jika deadlock dapat dilanjutkan pada
kesempatan lain).
Tujuan dilakukannya negosiasi adalah untuk mendapatkan penyelesaian
masalah bersama dengan mengkompromikan perbedaan yang ada sehingga mendapatkan
penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution) bukan saling
merugika (lose-lose solution) maupun menang kalah (win-lose).
Oleh karena itu, dalam proses negosiasi kedua belah pihak yang berkonflik
diharapkan dapat melakukan kompromisasi dengan baik dalam rangka mencapai
tujuan yang saling menguntungkan.
3.
Mediasi
Mediasi artinya menengahi. Dalam kamus besar bahasa indonesia
(KBBI) mediasi berarti suatu proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.[16]
Mediasi merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai
dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian. Metode pemecahan
konflik dengan cara menengahi para kelompok yang saling terlibat konflik
melalui bantuan pihak ketiga. Pelaku mediasi yang bertugas sebagai penengah
disebut dengan mediator yang bertugas menjelaskan proses dan membantu kedua
belah pihak untuk menyelesaikan konflik dengan tahapan-tahapan mediasi yang
telah disiapkan.
Untuk melakukan mediasi ada tiga tahap yang harus diperhatikan,
yakni:
a)
Preparation,
beberapa hal yang dilakukan pada tahap dimana ini adalah; perkenalan,
representasi atau pengecekan para pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukan
mediasi dan kesepakatan para pihak untuk memulai proses mediasi.
b)
Mediation
session, proses yang termasuk dalam tahapan ini adalah; opening, stories,
agenda, option, agreement, dan closing.
c)
Follow
up, merupakan pelaksanaan hasil-hasil kesepakatan oleh kedua belah pihak yang
berkonflik dan dituangkan secara bersama-sama dalam perjanjian tertulis.
4.
Peace Building
Definisi Peace building menurut Johan Galtung adalah strategi atau
upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang
terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak
yang terlibat dalam konflik.[17]
Johan Galtung, perdamaian dibagi antara perdamaian positif (positive
peace) dan perdamaian negatif (negative peace). Yang dimaksud dengan
perdamian positif adalah sebuah situasi tiadanya segenap masalah struktural
yang dapat menebar benih ketidakpuasan dan dapat menyulut konflik. Perdamaian
negatif adalah sebaliknya, mengartikan damai semata-mata sebagai ketiadaan konflik
kekerasan (the absence of violent conflict). Sedangkan konsep perumusan
tujuan akhir dari peace building adalah terciptanya perdamaian positif.[18]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata “konflik” dalam bahasa inggris conflict, berasal dari bahasa
latin configere yang berarti benturan. Jadi konflik adalah interaksi
diantara pihak-pihak yang saling tergantung dan merasakan ketidakcocokan dengan
satu sama lain. Interdepensi atau keadaan saling tergantung memainkan peran
penting dalam konflik, karena konflik mulai menetapkan kecenderungan untuk
bersaing atau bekerja sama dalam laju interaksi konflik,
Penyebab terjadinya konflik ada enam ranah besar, yakni:
1)
Teori
Hubungan Masyarakat
2)
Teori
negosiasi prinsip
3)
Human
need teory
4)
Identity
teory
5)
Non-understanded
teory
6)
Conflict
tranformation teory
Konflik dapat diatasi dan diubah dengan kajian-kajian kelimuan yang
dapat dikatakan kajian keilmuan baru, yaitu, resolusi konflik. Resolusi konflik
adalah kajian tentang bagaimana menghadapi konflik, bagaimana menyelesaikannya,
bagaimana mengatasinya, bagaimana mengelolanya dan mungkin bagaimana
menghilangkan konflik. Resolusi konflik merupakan istilah yang lebih
komprehensif yang menyiratkan bahwa akar terdalam yang merupakan sumber dari
konflik adalah ditangani dan diubah. Hal ini berarti bahwa perilaku kekerasan
tidak lagi, sikap bermusuhan tidak lagi dan struktur konflik telah berubah
menuju arah perubahan dan penyelesain konflik dengan baik.
Langkah-langkah atau teori-teori dalam meresolusi konflik yakni
dengan :
a)
Dialog
b)
Negosiasi
c)
Mediasi,
dan
d)
Peace
building.
B.
Kesimpulan
Oxford Dictionary.
Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin, Teori konflik sosial, terj.Helly
P.Soetjipto dan Sri Mulyanti Soetjipto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004, Hal.
9-10
M. Mukhsin Jamil, Cet. Ke I, 2007, Mengelola konflik membangun
Damai; Teori, Strategi, dan Implementasi Resolusi Konflik, Semarang:
Walisongo Mediation Center (WMC).
I.B. Wirawan, 2012, Teori-Teori
Sosial dalam Tiga Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Margaret M. Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
Raja Grafindo
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Prenada Media Group
Surwandono dan Sidiq Ahmadi, 2011, Resolusi Konflik di Dunia
Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu
Morton Deutsch, 1973, The resolution of conflict, New
Heaven: Yale University Press.
Prof. Dr. Alo Liliweri, 2005, Prasangka dan konflik; komunikasi
lintas budaya masyarakat multikultural, Yogyakarta: LkiS.
M. Tafsir M.A. Cet. Ke I, 2015, Resolusi Konflik, Semarang:
CV. Karya Abadi Jaya.
Syahrizal Abbas, 2011, MEDIASI dalam Hukum Syari’at, Hukum Adat,
dan Hukum Nasional, Jakarta: Prenada Media Group.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1998, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Imam Taufiq, 2010, Peace Building dalam al-quran; Kajian tentang
Pemikiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Dilal Al-qur’an (Laporan Penelitian
Individu), Semarang: IAIN Walisong.
[1]
Drs.Tafsir M.Ag. Resolusi Kampus, Hal. O5
[2] Oxford
Dictionary, Hal. 241
[3] Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin, Teori
konflik sosial, terj.Helly P.Soetjipto dan Sri Mulyanti Sujpto, Hal. 9-10
[4] M.
Mukhsin Jamil, Mengelola konflik membangun Damai, hal. 06
[5] Ibid,
hal. 05
[6] I.B. Wirawan, 2012, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma,
Hal 82.
[7] Ibid.
Hal. 85
[8] Margaret
M. Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer, Hal. 145
[9]George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada
Media Group: Jakarta, Hal. 31
[10] Margaret
M. Poloma, 2007, Sosiologi Kontemporer. Raja Grafindo: Jakarta. Hal. 137
[11] Surwandono
dan Sidiq Ahmadi, Resolusi Konflik di Dunia Islam, Hal. 7
[12] Morton
Deutsch, The resolution of conflict, Hal. 420
[13] Prof. Dr.
Alo Liliweri, Prasangka dan konflik; komunikasi lintas budaya masyarakat
multikultural, Hal. 288-289.
[14] M.
Tafsir M.A. Resolusi Konflik, Hal.35
[15]
Syahrizal Abbas, MEDIASI dalam Hukum Syari’at, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Hal. 9-10
[16] Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Hal. 569
[17] M.
Mukhsin Jamil, Mengelola konflik membangun Damai, hal. 72
[18] Imam
Taufiq, Peace Building dalam al-quran; Kajian tentang Pemikiran Sayyid Qutb
dalam Tafsir Fi Dilal Al-qur’an (Laporan Penelitian Individu), Hal.7-8
Comments
Post a Comment