Konsep Perdamaian Agama Hindu
A.
Latar Belakang
Setiap agama
memiliki unsur-unsur dasar dalam pembentukan etika atau tata susila. Hadirnya
tata susila akan berdampak positif bagi sikap prilaku umat manusia dalam
beraktifitas dan bertindak. Tata susila secara implisit memberikan tuntunan
bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupan dengan cara yang baik dan tidak
merugikan orang lain.
Dengan
demikian dapat diartikan bahwa setiap agama mewajibkan umatnya untuk memperoleh
kedamaian dengan menjaga dan mengembangkan perdamaian di antara sesama manusia
karena pada dasarnya kita adalah satu
keluarga besar umat manusia, bahkan disadari atau tidak.
Seperti yang
kita ketahui bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan atau keburukan
yang dapat merusak niai-nilai kemanusiaan dalam sendi kehidupan. Pada
kesempatan kali ini, kita akan lebih fokus pada “konsep-konsep perdamaian dalam
ajaran Hindu”, yang akan diulas sebagaiamana adanya dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
·
Sejarah lahirnya agama Hindu
·
Eetika agama Hindu
·
Konsep perdamaian dalam kitab Veda
·
Konsep perdamaian ajaran Ahimsah
C.
Pembahasan
1.
Sejarah agama Hindu
Agama Hindu
ini lahir di Negara India. Pertama, Perlu kita ketahui mengenai keadaan bumi
dan alam india. Negara ini dipisahkan dari bagian-bagian Asia yang lain oleh
bukit-bukit tinggi dan terjal yakni di bagian barat tanah pegunungan Hindu
Kush, di bagian utara bukit-bukit Himalaya, dan di sebelah timur pegunungan
yang memisahkan India dari Birma.[1]
Munculnya
agama Hindu sangat mempengaruhi peradaban setelahnya. Karena disamping agama
Hindu sebagai agama tertua, ia juga dibangung oleh dua peradaban besar, yakni
peradaban Drawida dan Arya. Pada peradaban Drawida telah mengalami evolusi yang
bisa dikatakan sangat signifikan terhadap perkembangan karakter dan identitas
peradaban kedepan. Di mana mereka telah memiliki transportasi untuk melakukan
transaksi pasar atau proses perdagangan. Masyarakatnya mayoritas lebih bersifat
matriakhal dan tidak mengenal kasta.
Dari aspek
agama, mereka menyembah dewi yang diasumsikan sebagai ibu alam, selain itu juga
menyembah binatang misalnya ular dan lembu. Sedangkan peradaban Arya merupakan
peradaban yang belum memiliki peradaban yang Tinggi boleh dikata masih
primitif. Bangsa setengah nomaden (pengembara), maka peternakan lebih tinggi
daripada pertanian dan memiliki ilmu perang yang tinggi. Dalam bertani dan
berdagang mereka banyak belajar dari bangsa Drawida. Binatang sangat dihargai
bahkan dianggap suci, seperti lembu dan kuda. Jadi, Hinduisme terbangun
dari pertemuan antara dua peradaban yang bermula dari kemajuan Peradaban
Drawida, selanjutnya bangsa Arya sangat mendominasi terutama dalam budaya
tulisan, bahkan penulisan Weda pun banyak didominasi peradaban Arya.[2]
Tak dapat
disangkal bahwabagaimana proses agama Hindu dalam rangka menebar perdamaian
bagi seluruh dunia yang berasal etnis, suku, dan budaya yang berbeda bisa duduk
bersama untuk saling mencintai, menghargai satu sama lainnya. Beragam fakta
yang ada agama Hindu menjadi agama yang paling sedikit mempunyai konflik dengan
agama lain. Tak terkecuali dalam beragam konflik internal di dalam keyakinan
ini.
“Sanatana
Dharma” adalah nama asli agama Hindu beberapa literatur menyebutnya adalah
salah satu nama lain dari Agama Hindi ini. Pun tidak ada bukti kelahiran pasti
kapan agama Hindu ini ada.
Kitab Veda
yang merupakan Kitab Suci agama Hindu, merangkum dari seluruh kitab suci dari
masing-masing agama yang diyakini oleh seluruh umat agama Hindu. Kitab Veda
menjadi acuan pertama ketika seluruh tataran teologis dan praktis dijadikan
sebagai pedoman bagi seluruh umat agama Hindu dalam rangka menjalankan seluruh
kegiatan sehari-hari sebagai umat yang patuh dan taat pada aturan yang tertulis
dalam Veda.
Kata “Veda”
sendiri dikaji dalam dua pendekatan yakni secara etimologi dan semantik. Secara
etimologis, kata “Veda” sendiri berasal dari akar kata vid berarti Mengetahui,
dan veda sendiri mempunyai arti “pengetahuan”.[3] Pendekatan
kedua dalam pengertian semantik veda mempunyai makna Pengetahuan yang
suci, Kebenaran yang suci, Pengetahuan tentang ritual, Kebijaksaan tertinggi, Pengetahuan
spiritual sejati tentang kebenaran yang abadi, atau ajaran suci.
Selain
daripada itu, menurut Maharsi Sayana, kata veda berasal dari kata vid
yang mempunyai makna Menuntun dan untuk mengetahui dan veda berarti
kitab suci yang mengandung ajaran luhur untuk menuntun manusia menuju kehidupan
yang baik dan menghindarkannya dari berbagai bentuk kejahatan.
Bahasa yang
digunakannya pun adalah bahasa Sansakerta. Bahasa ini dipopulerkan oleh Maharsi
Panini, yang menulis sebuah kitab tata bahasa yang terkenal dengan nama
Astadhyayi.[4]
Di antara yang lain yang berjasa merintis tata bahasa Sansakerta adalah Maharsi
Patanjali yang menulis kitab “Bhasa” pada abad sebelum masehi. Kedudukan kitab
suci ini adalah sebagai sumber ajaran agama Hindu, sebab dari veda lah
mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Salah satunya dari Kitab veda
(Sruti) mengalirlah ajaran-ajarannya yang dikembangkan dalam kitab Smrti,
Ittihasa, Purana, Tantra, Darsana, dan Tatwa-tatwa yang diwarisi di
Indonesia.
“Atmanam moksartham jagaddhitaya ca”
yang bermakna tujuan agama Hindu adalah untuk mencapai pelepasan, kebebasan,
atau kesempurnaan roh (Moksa), kesejahteraan umat manusia, kedamaian dan
kelesatarian dunia.
Pengertian Moksa
adalah kebebasan roh dari ikatan duniawi bebas dari dosa. Moksa pun
mengandung bersatunya roh dengan tuhan, roh yang Maha Agung, di akhirat (Manunggaling
kawula lan Gusti), serta mengalami kebahagiaan batin berupa ketenteraman
ilahi, pengalaman hidup manusia yang mulia. Sedangkan, Jagaddhita
sendiri mengandung makna kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran umat manusia,
kelestarian serta kedamaian dunia.[5]
Inilah sebenarnya tujuan agama diturunkan kepada manusia oleh Tuhan yang Maha
Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, menurut ajaran Hindu.
2.
Ajaran perdamaian dalam etika Hindu
Dalam ajaran
agama Hindu menekankan terbentuknya tata susila atas dasar agama. Dimensi
moralitas dalam agama Hindu sudah terpatri dalam kitab suci. Sehingga ada hal
yang patut untuk dilakukan oleh manusia dan ada juga sesuatu yang tidak boleh
dilakukan oleh manusia. Sebab, semua itu harus berpaku pada ajaran-ajaran agama
yang sudah ada dalam kitab suci.
Berangkat
dari hal tersebut, ternyata sumber hukum agama Hindu yang mengatur pola tingkah
laku individu adalah Weda, Smrti, Sila, Acara (sadacara), dan Atma tusti.[6]
Kelima sumber tersebut seperti serangkaian sistem yang saling mengisi satu sama
lain atau lebih bersifat simbiosi mutualistik.
Veda mengajarkan
bahwa orang harus berbakti kepada Tuhan, disamping harus pula memperhatikan
orang lain, dan harus saling mencintai satu sama lain. Harus selalu hidup dalam
kedamaian dan hidup dalam suasana persahabatan.
Terjemahan Artarwa veda 3.30. berikut mencerminkan hal
tersebut :
“Aku jadikan
engkau se hati, satu pikiran, bebas dari kebencian, kasihilah satu sama lain
seperti sapi mengasihi anaknya yang ia lahirkan. Biarlah anak setia kepada ayah
dan satu hati dengan ibu. Biarlah istri bercakap dengan manis dan dengan
kata-kata yang bagus dengan suami. Jaganlah saudara lelaki benci kepada saudara
lelaki, saudara perempuan dengan saudara perempuan. Rukunlah bersatulah dalam
tujuan, berkatalah dengan kata-kata persahabatan (perdamaian).”[7]
3. Konsep perdamaian dalam kitab Veda
Umat Hindu
menurut pengertian Veda pada hakikatnya merupakan bagian dari manusia lainnya,
tak terpisahkan dari seluruh ciptaan Tuhan, penguasa dan penakdir segala
ciptaan-Nya di alam semesta ini. Umat Hindu tidak dapat memisahkan dirinya
untuk sebuah perbedaan, karena ia berasal dari yang satu serta akan kembali
pada yang satu jua.
Tat Tvam Asi, menjadi
landasan etik dan moral bagi umat agama Hindu di dalam menjalani kehidupannya
sehingga dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik dan harmonis. Maka
umat Hindu sebagai bagian dari warga negara Indonesia adalah wajib baginya
menjalankan dan atau mengamalkan ajaran agamanya menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Karena agama Hindu mengajarkan kewajiban moral pengabdian
negara yang disebut “Dharma Negara” dan kewajiban moral mengamalkan ajaran
agamanya “Dharma Agama”.
Dharma
Negara umat Hindu haruslah tunduk dan patuh kepada konstitusi serta berupaya membudayakan
nilai-nilai Negara sebagai pandangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, dalam rangka sosialisasi dan inkulturasi nilai-nilai luhur agama
dalam proses pembangunan nasional maka umat Hindu harus mengamalkan ajaran
agamanya secara benar dengan mengupayakan revitalisasi terhadap ayat suci Veda
sehingga mampu memberikan kontribusinya terhadap kelancaran pelaksanaan
pembangunan nasional menuju masyarakat madani.[8]
Ada beragam
hal dalam agama Hindu tentang ajaran mengenai konsep kerukunan dan perdamaian
dalam kehidupan yang dilandasi etika dan moral ajaran Veda yang dapat
diaktualisasikan. Pertama, menyadari diri sebagai sahabat dari sesama
umat manusia, baik secara intern umat Hindu maupun ekstern umat Hindu itu
sendiri. Mereka digambarkan sebagai teman dari semua penciptaan Tuhan. Karena
berasal dari pencipta yang sama serta diisi dan digerakkan oleh sumber hidup
yang sama.
Kedua, Senantiasa
berupaya melaksanakan Dharma Agama melalui pengamalan ajaran agama
secara benar dan utuh tanpa kepentingan yang bersifat ekslusif “Apapun bentuk
kepercayaan yang ingin ia dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan
kepercayaan mereka sama supaya teguh dan sejahter.” Begitulah kutipan Veda yang
begitu banyak menghargai perbedaan dengan lapang dan mampu menerima satu sama
lain yang berbeda keyakinan dengan mereka. Ketiga, mencintai dan
mengabdi kepada Tanah Air, Bangsa dan Negara, yang disadari oleh kesadaran Bela
Negara melalui disiplin ilmu dan kerja keras. Di dalam kitab Veda sendiri
disebutkan beberapa anjuran mengenai hal di atas seperti “bumi ini adalah
ibu dan kami putranya (Ath.V.XII.1.12).”
Keempat, dalam rangka
meningkatkan kerukunan hidup menuju perdamaian dalam kehidupan bernegara, maka
anjuran Tri Hita Karana harus diamalkan, yakni,
a.
Hubungan manusia dengan Sang
Pencipta dalam wujud bhakti yang murni.
b.
Hubungan manusia dengan sesama
warga negara atau sesama umat manusia dalam wujud kebersamaan atau kesatuan
sejati.
c.
Hubungan manusia dengan lingkungan
secara harmoni.
Dalam agama
Hindu, hubungan manusia dengan sesama manusia mengarah kepada kerukunan,
persatuan, pikiran maupun sikap dalam menghadapi masalah bangsa dan negara
menuju kebahagiaan perdamaian yang kekal. “Wahai manusia berjalanlah kamu seiring, berbicara bersama dan
berpikirlah ke arah yang sama, seperti para dewa yang dahulu membagi tugas
mereka, begitulah semestinya engkau menggunakan hakmu”
Dari beberapa
hal di atas, konsep kerukunan dan perdamaian ini merupakan sebuah refleksi dari
ajaran Veda. Maka dapat disimpulkan bahwa, Dharma Negara dan Dharma
Agama adalah merupakan dasar etika dan moral bagi umat Hindu dalam
menjalankan kewajibannya, baik secara pribadi maupun sebagai warga negara. Ajaran
pengalaman ini tidak boleh menyimpang dari kitab suci Veda. Berpedoman melalui
“Tat Tvam Asi” tersebutlah umat Hindu dituntut untuk melaksanakan
sosialisasi kehidupan beragama ke arah persahabatan antar sesama manusia,
bahkan dengan alam semesta yang hakikatnya bersumber dari yang satu (Yang Maha
Kuasa penakdir segala ciptaan).
4. Konsep perdamaian dalam ajaran ahimsah agama Hindu
Dalam ajaran
Hindu salah satu butir tata susilanya terdapa konsep ahimsa. Ahimsa merupakan
konsep anti kekerasan atau nir-kekerasan. Ahimsa atau nir-kekerasan merupakan
pijakan dasar dalam mencari suatu kebenaran. Kata ahimsa secara etimologi
berarti tidak menyakiti, tidak melukai atau berpikir ingin melukai makhluk
apapun. Sedangkan secara terminologi, ahimsa itu merupakan dasar etika
tradisional India terutama dalam doktrin Jainisme dan ajaran Mahatma Gandhi.
Ahimsa adalah intisari kasih dan sifat manusia.
Selain hal itu,
ada seorang Rsi Vyasa yang menyatakan bahwa, “ahimsa berarti tidak menyebabkan
sakit atau menyakiti makhluk manapun, dengan sengaja atau kapan saja.
Pengendalian diri dan disiplin yang berakar dari ajaran ahimsa memiliki
kecenderungan untuk menyempurnakan ahimsa itu sendiri”. Ahimsa dalam ajaran
Hindu diibaratkan sebagai istri Dharma (kebenaran).[9]
Dalam hal ini, cukup jelas bagaimana agama Hindu menjaga kedamaian alam manusia
dengan makhluk laen, sehingga menjadikannya suatu keharmonisan utuh. “Jangan berbuat
kepada orang lain apa yang dia tak suka orang lain berbuat terhadap dirinya.
(To Thi Ahn : 1984: 7).”[10]
Konsep
ahimsa tersebut telah menganjurkan bagi umat Hindu untuk tidak bertindak
kekerasan atau melakukan teror terhadap manusia maupun makhluk lain. Pada
hakikatnya itu menyakiti dan mengganggu dirinya sendiri. Dan itu telah terpatri
dalam Sloka dan Bhagawat Gita yang secara rinci menyebutkan bahwa :“Ahimsa
artinya tidak membunuh-bunuh, brahmacari namanya tidak mau kawin, satya artinya
tidak berkata bohong, awyawaharika namanya tidak berselisih, tidak berjual
beli, tidak berbuat dosa karena kepintaran. Astainya namanya tidak mencuri,
tidak mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua pihak.
(Wrhaspati Tattwa. 60)”[11]
“Orang yang melihat
Tuhan yang kekal dan abadi bersemayam merata di dalam makhluk yang tidak kekal
dialah sebenarnya yang melihat. (Baghwan gita XIII 27)”
Beberapa
bait-bait Sloka yang menyatakan bahwa “ahimsa ngaranya tan pamati-mati”
atau (ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh) di atas semakin memperjelas dan
mempertegas bagaimana pandang Hindu mengajarkan perdamaian seduai dengan konsep
etika dasar Hindu yakni Panca Yama Brata. Berdasarkan wejangan tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan yang dilakukan untuk orang
lain melainkan juga untuk dirinya sendiri.
Konsep
Ahimsa Gandhi merupakan suatu konsep yang kaya dan kompleks. Pada dasarnya,
Ahimsa adalah aksi yang didasarkan atas penolakan terhadap perbuatan merusak.
Mahatma Gandhi sering kali mengingatkan akan pentingnya perbedaan antara
“ahimsa” dan “himsa”. Karena kedua istilah tersebut sangat vital sekali apabila
dipahami secara keliru. Gandhi berucap bahwa Ahimsa adalah penolakan terhadap
kekerasan. Sedangkan Himsa merupakan kekerasan. Konsep Ahimsa memang terbilang
sulit untuk dipahami. Namun Gandhi berucap bahwa metode satyagraha atau
kekuatan kebenaran yang pada dasarnya bermakna kekuasaan kebenaran yang
dimanefestasikan melalui nir-kekerasan, dalam kenyataanya adalah seni hidup dan
mati. Di mana kematian yang dimaksud oleh satyagraha adalah sikap
menghadapi kematian dengan suka cita dalam menjalankan tugas seseorang.
Ahimsa dan
Satyagraha merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahakan. Kalimat
terakhir dari pernyataan Gandhi di atas perlu dicermati secara mendalam oleh
praktisi ahimsa. Karena yang dimaksud Gandhi dalam kalimat itu adalah
orang-orang yang mengemban tugas menjalankan konsep ahimsa bukan orang yang
pengecut dan malu-malu. Ia merupakan jalan bagi orang pemberani yang siap
menghadapi kematian. Sebab, orang yang denga pedang di tangan tidak diragukan
lagi berani, tetapi orang yang menghadapi kematian tanpa mengangkat
kelingkingnya dan tanpa gentar tentunya lebih berani.[12]
metode yang digunakan untuk meredam terorisme tersebut adalah metode satyagraha
Mahatma Gandhi. Gandhi berucap bahwa satyagraha adalah berpegang teguh pada
kebenaran, sehingga melahirkan kekuatan kebenaran. Dan itu juga bisa disebut
sebagai kekuatan cinta kasih atau kekuatan-jiwa. Ketika menerapkan satyagraha,
dalam tahapan paling awal, harus ada kesadaran akan pencarian kebenaran yang
tidak boleh menggunakan kekersan terhadap musuh, justru harus menginsyafkan
musuh dari kesalahannya.[13]
D.
Kesimpulan
Setelah
menganalisa secara seksama dapat dilihat bahwa ajaran Hindu tidak mengajarkan
akan prilaku kekerasan apalagi terorisme. Malah sebaliknya, Hindu mengajarkan
akan pentingnya menyebarkan perdamaian dengan konsep tata susila yang bersumber
pada Veda, Smrti, Sila, Acara (sadacara), dan Atma tusti. Semua itu
memberikan gamabaran bahwa Hindu memandang perdamaian sebagai perbuatan yang
bernilai suci dan relevan dengan dharma Hindu. Karena dharma Hindu adalah
kebenaran yang bersumber dari ajaran kitab-kitab dan Ahimsa dalam ajaran Hindu
diibaratkan sebagai istri Dharma (kebenaran). Oleh karena itu Gandhi menelorkan
Ahimsa, yakni sebuah konsep yang berarti menjunjung perdamaian dan memerangi
kekerasan dengan kebenaran Tuhan (satyagraha).
E.
Daftar Pustaka
Mansur, Sufa’at, 2011 Agama-Agama Besar Masa Kini,
Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Dharam Vir Singh, 2007, Hinduisme Sebagai
Pengantar, terj. I. G. A. Dewi Paramitha, Surabaya : Paramita.
Djam’annuri, 2000, Agama Kita : perspektif
sejarah agama-agama (sebuah pengantar), Yogyakarta : Kurnia Alam Semesta.
Ida, Bagus Pudja, 2001, Buku Pelajaran Agama
Hindu, Yogyakarata : UPT-UNY.
Departemen Agama RI, 1981, Musyawarah Intern Umat
Beragama 1980-1981, Jakarta : Proyek Pembinaan kerukunan hidup beragama.
Wayan S
Satria, “Hindu dan Terorisme” dalam http://stahdnj.ac.id/?p=206 diakses
tanggal 6 Oktober 2016.
Bagus, Ida Rai Wardhana, 1999, Agama Hindu,
Jakarta : Hanuman Sakti.
Jhon Dear, Intisari Ajaran Mahatma Gandhi :
Spiritualitas, Sosio-politik dan Cinta Universal.
[1]
Sufa’at Mansur, Agama-Agama Besar Masa Kini, Hal 2.
[2]
Dharam Vir Singh, Hinduisme Sebagai Pengantar, Hal. 67.
[3]
Djam’annuri, Agama Kita : perspektif sejarah agama-agama, Hal. 41.
[4]
Ibid. Hal 42.
[5]
Arnold Toynbe “Mankind and Mother Earth; A Narrative History of the World,
Hal 58
[6]
Ida Bagus Pudja, Buku Pelajaran Agama Hindu, Hal. 44.
[7]
Ibid Hal. 60
[8]
Departemen Agama RI, Musyawarah Intern Umat Beragama 1980-1981. Hal. 67
[9]
Dharam Vir Singh, Hinduisme Sebagai Pengantar,
Hal. 89.
[10]
Wayan S Satria, “Hindu dan Terorisme” dalam http://stahdnj.ac.id/?p=206 diakses
tanggal 6 Oktober 2016.
[11]
Ida Bagus Rai Wardhana, Agama Hindu, Hal. 29.
[12]Chaiwat
Satha Anand, Agama dan Budaya Perdamaian, Hal. 51.
[13]
Jhon Dear, Intisari Ajaran Mahatma Gandhi: Spiritualitas, Sosio-politik dan
Cinta Universal, hlm. 141.
Comments
Post a Comment